Sejarah Evolusi Sekuler Turki Mustafa Kemal Attaturk


Kekhilafahan dalam Islam mengalami pasang surut antara kejayaan, keemasan dan terkadang kemunduran. Salah satu kekhilafahan yang mempunyai rentang waktu panjang dan kejayaan yang mengagumkan adalah kekhalifahan Utsmaniyah di Turki.

Daulah Madinah telah tegak di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rosyidin kokoh sampai akhirnya pada masa Khilafah Utsmaniyah. Eksistensi khilafah sendiri adalah sesuatu yang paling penting dalam Islam. Hal ini tergambar dalam kesibukan 50 sahabat Muhajirin dan Anshor yang mengutamakan mencari pengganti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam sebagai pemimpin umat di perkampungan Bani Saqifah daripada mengebumikan Rasul terlebih dahulu.

Selama kurang lebih lima abad Ustmany telah menjaga Islam dan kaum Muslimin. Kesuksesan terbesar kekhilafahan Utsmaniyah di antaranya adalah penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453.

Hal ini memperkuat status kekhilafahan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Hingga kota-kota penting yang sangat terkenal sejak zaman dahulu pun masuk ke dalam wilayah kekhilafahan Utsmaniyah. Pada masa itu, seluruh Eropa takut dan “menggigil” dengan kekhalifahan Utsmaniyah. Raja-raja Eropa berada dalam jaminan keselamatan yang diberikan dari Khalifah Utsmaniyah.

Semua hal tersebut membuat Raja-raja Eropa menaruh dendam juga niat yang membara untuk menghancurkan kekhalifahan Utsmaniyah. Namun mereka masih menunggu kesempatan dan waktu yang tepat untuk menggulingkan kekhalifahan Utsmaniyah tersebut, sehingga mereka harus membuat rencana yang benar-benar matang.

Disebutkan bahwa para filosofi, pemikir, raja, panglima perang, pastur bangsa Eropa ikut terlibat dalam rencana kejam ini. Tak kurang dari perdana menteri Romawi Dubqara menulis buku yang berjudul “Seratus Kiat untuk Menghancurkan Turki”.

Problem Internal dan Eksternal Turki

Kekhalifahan Utsmaniyah berakhir pada 1909 H, dan kemudian benar-benar dihapuskan pada 3 Maret 1924 H. Setidaknya ada tiga sebab yang melingkupi keruntuhan kekhilafahan kebanggaan kaum muslimin ini, antara lain :

Pertama; Kondisi Pemerintahan yang lemah dan kemorosotan akhlak

Penurunan drastis ketakwaan individu menyebabkan akhlak umat mulai merosot. Turki mulai mengalami kemunduran setelah terjangkit penyakit yang menyerang bangsa-bangsa besar sebelumnya, yaitu: cinta dunia dan bermewah-mewahan, sikap iri hati, benci membenci, dan penindasan.

Pejabat pemerintahan terpuruk karena korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk menumpuk harta. Begitu pula rakyat yang terus menerus tenggelam dalam kemewahan dan kesenangan hidup, meninggalkan pemahaman dan semangat jihad. Fanatik madzhab merebak di mana-mana. Kemudian mencukupkan Imam Madzhab dan timbul opini tertutupnya pintu ijtihad. Sehingga umat kebingungan dan berada dalam keruwetan pada saat menghadapi persoalan-persoalan baru yang terjadi pada umat Islam.

Kedua; serangan militer dari Eropa

Sebelum terjadinya Perang Dunia I yang menghancurkan Turki, upaya penyerangan dari Raja Eropa ke Turki sebenarnya sudah dimulai pada akhir abad 16, di mana saat itu keluar pernyataan yang menyatakan bahwa; ”Sri Paus V, Raja Prancis Philip dan republik Bunduqiyah sepakat untuk mengumumkan perang ofensif dan defensif terhadap orang-orang Turki untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai Turki seperti Tunisia, Al-Jazair dan Taroblush.”
Sejak itulah Turki melemah karena banyaknya pertempuran yang terjadi antara mereka dan negara-negara Eropa. Puncak dari semua itu adalah keterlibatan Turki dalam Perang Dunia I pada 2 Agustus 1914 atas rencana busuk dari Mustapa Kamal, dan mengakibatkan Turki kehilangan segala-galanya, di mana militer penjajah akhirnya memasuki Istambul.

Ketiga; gerakan oposisi sekuler dan nasionalis

Selain serangan konspirasi dari luar, Utsmaniyah juga menghadapi tantangan internal berupa Isu Nasionalisme Arab. Orang Arab yang merasa lebih mulia daripada orang Turki karena Islam berasal dari Arab sehingga mereka enggan dipimpin seorang Khalifah yang berasal dari Turki. Hal ini memicu terjadinya separatisme yang semakin menggerogoti kekuatan dan wilayah Utsmani.

Utsmani juga mendapat perlawanan oposisi dari organisasi sekuler dan nasionalis yang sempit, seperti Organisasi Wanita Turki dan Organisasi Persatuan dan Kemajuan yang digawangi oleh Mustafa Kemal.



Dalam perjuangannya, mereka banyak bekerja sama dengan negara Eropa untuk mewujudkan keinginan mereka menghilangkan kekhalifahan. Puncaknya apa yang terjadi pada tahun 1909 H, dengan dalih gerakan mogok massal, organisasi Persatuan  dan Kesatuan berhasil memasuki Istambul, menyingkirkan Khalifah Abdul Hamid II dan melucutinya dari pemerintahan dan keagamaan dan tinggal menjadi simbol belaka. Tidak cukup itu, pada 3 Maret 1924, badan legislatif mengangkat Mustafa Kamal sebagai  presiden Turki dan membubarkan khilafah Islamiyah.

EVOLUSI TURKI

Evolusi Turki pada awal tahun 1900-an, adalah salah satu perubahan budaya dan sosial yang paling membingungkan dalam sejarah Islam. Dalam beberapa tahun saja, Kesultanan Ottoman dilengserkan dari dalam, dilucuti dari sejarah Islam, serta diserahkan ke negara sekuler baru yang dikenal sebagai Turki. Konsekuensi dari perubahan ini masih dirasakan saat ini di seluruh dunia Muslim, dan terutama di Turki yang sangat terpolarisasi dan ideologis tersegmentasi.

Apa yang menyebabkan perubahan monumental ini di pemerintah Turki dan masyarakat? Di tengah itu semua adalah Mustafa Kemal, lebih dikenal sebagai Atatürk. Melalui kepemimpinannya di tahun 1920-an dan 1930-an, Turki sekuler modern lahir, dan Islam berada pada kursi paling belakang dalam masyarakat Turki.

Kebangkitan Mustafa Kemal Atatürk

Keputusan dari Kesultanan Ottoman untuk memasuki Perang Dunia Pertama pada tahun 1914, ternyata menjadi kesalahan yang mengerikan. Kesultanan dijalankan oleh kediktatoran yang dipimpin oleh “Tiga Pasha” yang secara sepihak memasuki perang di pihak Jerman, melawan Inggris, Prancis, dan Rusia. Kesultanan Ottoman diserbu dari selatan oleh Inggris, dari Timur oleh Rusia, dan oleh orang Yunani di Barat. Pada tahun 1918 ketika perang berakhir, kesultanan dibagi dan diduduki oleh sekutu yang menang, hanya menyisakan dataran tinggi Anatolia sebagai pusat kendali pemerintah Turki yang asli.

Di Anatolia tengahlah di mana Mustafa Kemal akan naik menjadi pahlawan nasional untuk Turki. Sebagai seorang perwira tentara Ottoman, ia menampilkan kepemimpinan yang besar dalam pertempuran, terutama di Gallipoli, di mana Ottoman berhasil merebut kembali ibukota, Istanbul yang diinvasi Inggris. Setelah perang, Kemal membuat jelas apa prioritas utamanya. Yakni pembentukan nasionalisme Turki, sebagai kekuatan pemersatu orang-orang Turki. Berbeda dengan multi etnis dan keberagaman Kesultanan Ottoman, Kemal bertujuan untuk menciptakan sebuah negara monolitik berdasarkan identitas Turki.

Mustafa Kemal menjelaskan arti pentingnya identitas Turki dan minimnya kontribusi Islam dalam pandangannya:


“Bahkan sebelum menerima agama orang Arab [Islam], Turki adalah bangsa yang besar. Setelah menerima agama orang Arab, agama ini tidak efektif untuk menggabungkan orang-orang Arab, Persia dan Mesir dengan Turki untuk membentuk sebuah bangsa. [Agama ini] tidak hanya melonggarkan hubungan nasional bangsa Turki, malah mematikan rasa nasionalisme. Ini sangat alami. Karena tujuan dari agama yang didirikan oleh Muhammad, atas semua bangsa, adalah untuk menyeret masuk ke dalam politik nasional Arab.” 

Mustafa Kemal, Medenî Bilgiler

Mustafa Kemal membantu mendorong agenda nasionalisnya.Menggunakan identitas Turki sebagai titik utama, ia berhasil menyatukan mantan perwira Ottoman di bawah komandonya dalam Perang Kemerdekaan Turki pada awal tahun 1920, dan mengusir pasukan pendudukan orang-orang Yunani, Inggris, dan Perancis, yang telah menggerogoti tanah Turki setelah Perang Dunia I. Di tahun 1922, Kemal berhasil sepenuhnya membebaskan Turki dari pendudukan asing, dan menggunakan kesempatan untuk mendirikan Republik modern Turki, dipimpin oleh Majelis Agung Nasional (GNA), dengan pusatnya di Ankara. Kepala pemerintah Turki yang baru adalah presiden, dipilih oleh GNA. Pilihan alami adalah Mustafa Kemal, pahlawan Perang Kemerdekaan, yang kini mengambil judul “Atatürk”, yang berarti “Bapak Turki”.

Menghapuskan Kesultanan Ottoman dan Khilafah

Pada awalnya, pemerintah Turki baru tampaknya mewarisi peran pemerintah Ottoman sebagai penegak Islam. Sebuah konstitusi baru yang disusun oleh GNA menyatakan bahwa Islam adalah agama resmi negara Turki, dan bahwa semua hukum harus diperiksa oleh panel ahli hukum Islam, untuk memastikan mereka tidak bertentangan dengan syariat.

Sistem pemerintahan baru tidak bisa bekerja, bagaimanapun itu, selama berdirinya pemerintah rival di Istanbul, yang dipimpin oleh Sultan Ottoman. Kedua pemerintahan Ankara dan Istanbul, mengklaim kedaulatan atas Turki, dan memiliki tujuan yang saling bertentangan. Atatürk mengeliminasi masalah ini pada tanggal 1 November 1922, ketika ia menghapuskan kesultanan Ottoman, yang telah ada sejak tahun 1299, dan secara resmi mentransfer kekuatannya ke GNA. Dia tidak segera menghapuskan kekhalifahan. Namun meskipun kesultanan sudah tidak ada, ia mengizinkan kekhalifahan Ottoman untuk terus eksis, meskipun tanpa kekuasaan resmi, hanya sebagai boneka simbolik.

Mengetahui bahwa langkah tersebut akan sangat bertentangan di kalangan orang-orang Turki, Atatürk membenarkan hal itu dengan menyatakan bahwa ia hanya akan mengembalikan Turki ke bentuk pemerintah Islam tradisional. Dari tahun 900-an hingga ke tahun 1500-an, para khalifah Abbasiyah kebanyakan boneka, dengan kekuatan nyata berada di tangan wazir atau panglima perang. Atatürk menggunakan contoh itu untuk membenarkan sistemnya dari kekhalifahan yang tidak berdaya.

kekhalifahan telah ada sejak kematian Nabi Muhammad ﷺ, ketika Abu Bakar terpilih sebagai pemimpin pertama dunia Muslim. Bagi umat Islam di luar Turki, tindakan Atatürk jelas menempatkan kekhalifahan itu sendiri dalam bahaya. Di India khususnya, umat Islam menyatakan kemarahan atas tindakan Atatürk dan mengorganisir Gerakan Khilafat, yang berusaha untuk melindungi kekhalifahan dari bahaya, baik oleh penjajah asing atau pemerintah Turki sendiri.

Bagi Atatürk, berbagai dukungan untuk khalifah dari umat Islam di luar Turki dilihat sebagai campur tangan dalam urusan internal Turki. Dengan dalih gangguan internasional, pada tanggal 3 Maret 1924, Atatürk dan Majelis Agung Nasional (GNA) menghapuskan kekhalifahan itu sendiri, dan mengirim semua anggota kekhalifahan yang tersisa dari keluarga Ottoman ke pengasingan.

Serangan terhadap Islam

Dengan disingkirkannya kekhalifahan, pemerintah Turki memiliki lebih banyak kebebasan membuat kebijakan yang menyerang lembaga-lembaga Islam. Dengan kedok “membersihkan Islam dari campur tangan politik”, sistem pendidikan benar-benar dirombak. Pendidikan Islam dilarang, menjadi sekolah non-dogmatis. Aspek lain dari infrastruktur agama juga diruntuhkan. Dewan Syariah yang sebelumnya menyetujui undang-undang pendirian GNA, dihapuskan. sumbangan keagamaan disita dan diletakkan di bawah kontrol pemerintah. Pondok-pondok sufi secara paksa ditutup. Semua hakim hukum Islam di negara itu segera dipecat, karena semua pengadilan syariah ditutup.

Serangan Atatürk terhadap Islam tidak terbatas pada pemerintah, termasuk kehidupan sehari-hari di Turki juga ditentukan oleh ide-ide sekuler Atatürk. Yakni:

  • Bentuk hiasan kepala Islam tradisional seperti sorban dan kopiah dilarang, pemerintah lebih mendukung topi bergaya Barat.

  • Jilbab yang digunakan perempuan, diejek sebagai “objek konyol” dan dilarang di gedung-gedung publik.

  • Kalender resmi berubah, dari kalender Islam tradisional, berdasarkan perhitungan hijrah, perjalananNabi Muhammad ﷺ ‘s ke Madinah, menjadi kalender Gregorian, berdasarkan kelahiran Yesus Kristus.

  • Pada tahun 1932, azan dilarang dikumandangkan dalam bahasa Arab. Sebaliknya, itu ditulis ulang dengan menggunakan kata-kata Turki dan prakteknya dipaksakan pada ribuan masjid di Turki.

  • Hari Jum’at tidak lagi dianggap sebagai bagian dari akhir pekan. Sebaliknya, Turki mengikuti norma-norma Eropa dimana hari Sabtu dan Minggu menjadi hari libur dari pekerjaan.

  • Setelah semua perubahan ini, sandiwara GNA mencapai puncaknya pada tahun 1928 dimana Turki menghapus klausul dalam konstitusi yang menyatakan Islam sebagai agama resmi negara. Islam telah diganti dengan ideologi sekuler Atatürk.
Reformasi bahasa

Atatürk mengetahui bahwa reformasi sekuler akan sia-sia, jika orang-orang Turki bisa mengelola gerakan untuk melawan mereka. Bahaya terbesar bagi tatanan baru ini adalah sejarah Turki, yang sejak tahun 900-an telah terjalin dengan Islam. Untuk menjauhkan generasi baru Turki dari masa lalu mereka, Atatürk harus membuat masa lalu tidak dapat terbaca oleh pemuda Turki.

Dengan alasan meningkatkan melek huruf di kalangan rakyat Turki (yang memang sangat rendah di tahun 1920-an), Atatürk menganjurkan penggantian huruf Arab dengan huruf Latin. Seperti Persia, literatur Turki banyak ditulis dalam huruf Arab selama ratusan tahun setelah konversi Turki kepada Islam di tahun 900-an. Karena literatur Turki ditulis dalam aksara Arab, warga Turki bisa membaca Al-Qur’an, dan teks-teks Islam lainnya dengan relatif mudah, menghubungkan mereka ke identitas Islam, yang dilihat Atatürk sebagai sebuah ancaman.

Selain pengenalan huruf Latin, Atatürk menciptakan sebuah komisi yang bertugas menggantikan literatur berbahasa Arab dan Persia. Sesuai dengan agenda nasionalisnya, Atatürk ingin bahasa Turki murni, yang berarti kata-kata Turki tradisional, yang telah menjadi usang selama era Ottoman, kembali ke penggunaan kata-kata non Arab. Misalnya, Perang Kemerdekaan Turki, sebelumnya dikenal sebagai Istiklal Harbi, kemudian dikenal sebagai Kurtulus Savasi, karena “İstiklâl” dan “harb” adalah kata serapan dari bahasa Arab di Turki.

Dari perspektif Atatürk, reformasi bahasa adalah sangat sukses. Dalam beberapa dekade, bahasa Turki Ottoman punah. Generasi muda Turki benar-benar terputus dari generasi yang lebih tua, bahkan mereka sulit untuk melakukan percakapan sederhana. Dengan orang-orang Turki yang buta huruf terhadap bahasa tua mereka sendiri, pemerintah Turki mampu menyebarkan sejarah versi mereka sendiri yang dapat diterima, salah satunya mempromosikan ide-ide nasionalis Turki Atatürk sendiri.

Turki Sekuler

Semua reformasi tersebut saling bekerja sama secara efektif menghapus Islam dari kehidupan Turki sehari-hari. Meskipun upaya terbaik dari pemikir agama Turki (seperti Said Nursi) untuk melestarikan warisan mereka, bahasa, dan agama, tekanan pemerintah untuk mengadopsi ide-ide sekuler terlalu banyak. Selama lebih dari 80 tahun, pemerintah Turki menjadi negara sekuler yang keras. Upaya untuk membawa kembali nilai-nilai Islam ke dalam pemerintahan, telah dihalangi resistensi dari pihak militer, yang memandang dirinya sebagai pelindung dari sekularisme Atatürk.

Pada tahun 1950, Adnan Menderes secara demokratis terpilih sebagai perdana menteri Turki, dan ia mengubah kembali kumandang adzan dalam bahasa Arab. Meskipun ia berhasil, ia digulingkan oleh kudeta militer pada tahun 1960 dan dieksekusi dalam suatu proses pengadilan yang sangat tergesa-gesa dan kilat. Pada tahun 1996, Necmettin Erbakan terpilih sebagai perdana menteri, ia sangat terbuka dengan menyatakan dirinya sebagai seorang “Islamis”. Sekali lagi, militer melangkah masuk, dan menggulingkan dia dari kekuasaan setelah hanya satu tahun berkuasa.

Hubungan Turki modern dengan Islam dan sejarahnya sendiri begitu rumit. Sebagian dari masyarakat sangat mendukung ideologi Atatürk, dan percaya bahwa Islam seharusnya tidak memiliki peran dalam kehidupan publik. Segmen lain dari masyarakat membayangkan kembalinya masyarakat berorientasi pada Islam dan pemerintah, dan hubungan yang lebih dekat dengan seluruh dunia Muslim.

Balasan Allah SWT  atas Kedzaliman Mustafa Kemal

Sekiranya Kamal Attaturk ini lahir di zaman adanya Rasul pada saat ketika wahyu masih turun, bisa jadi namanya akan diabadikan seperti Fir’aun, Namrud dan Abu Lahab. Cara kematian yang Allah telah datangkan kepada mereka, orang-orang yang dzalim itu teramat tragis sekali. Kematian merekapun teramat unik.

Namrud, mati karena sakit kepala  akibat dimasuki oleh seekor nyamuk melalui telinganya. Setiap kali ia menjerit, dokter pribadinya memerintahkan dipukul kepalanya untuk mengurangi kesakitannya. Setelah lama bergelut dengan sakratul maut, akhirnya dia mati dalam keadaan tersiksa dan terhina. Begitu juga dengan Firaun yang mati lemas di dalam laut.

Nasib serupa dialami Mustafa Kamal Attaturk juga menerima pembalasan yang setimpal dari Allah. Menurut beberapa buku sejarah, kematian Kemal dikarenakan akibat over dosis  minuman keras. Ditambah lagi dengan berbagai penyakit  seperti penyakit kelamin, malaria , sakit ginjal dan lever. Dia meninggal dunia pada 10 November 1938, kulit di tubuh badannya rusak dengan cepat dan díganggu pula oleh penyakit gatal-gatal.

Dokter sudah memberi bermacam-macam salep untuk diusap pada kakinya yang sudah banyak luka-luka karena tergaruk oleh kukunya. Walaupun begitu dia masih sangat angkuh. Di akhir-akhir hayatnya yaitu ketika menderita sakratul maut.

Anehnya dia takut sekali berada di istananya dan tubuhnya merasa panas maka ia ingin dibawa ke tengah laut dengan kapalnya. Bila penyakitnya bertambah, dia tidak dapat menahan diri daripadanya kecuali menjerit. Jeritan itu semakin kuat (hingga kedengaran di sekeliling istana). Dia berteriak kesakitan dalam sakratul mautnya dengan penuh siksa di tengah-tengah laut.

Dr. Abdullah ‘Azzam dalam buku ‘Al Manaratul Mafqudah’,  menjelaskan detik-detik menjelang ajal sang hina Mustafa Kemal Attaturk. Menurutnya, sebuah cairan berkumpul di perutnya secara kronis. Ingatannya melemah, darah mulai mengalir dari hidungnya tanpa henti. Dia juga terserang penyakit kelamin (GO). Untuk mengeluarkan cairan yang berkumpul pada bagian dalam perutnya (ascites), dokter mencoblos perutnya dengan jarum. Perutnya membusung dan kedua kakinya bengkak. Mukanya mengecil. Darahnya berkurang sehingga Mustafa pucat seputih tulang.

Dalam Kitab ”Al-Jaza Min Jinsil Amal” Karangan Syeikh Dr. Sayyid Husien Al-Affani disebutkan, walaupun Attaturk dikelilingi para dokter, namun penyakit kangker hatinya baru di ketahui pada tahun 1938 padahal dia telah merasakan pedihnya penyakit tersebut sejak 1936.

Pada Kamis tanggal 10 oktober 1938, Kamal Attatruk terlempar ke ‘sampah sejarah’ setelah ia mengalami sakaratul maut sebulan lamanya yang tidak ada satupun dari pembantu dan para dokternya yang berani mendekati dia ketika itu.

Setelah 9 hari, barulah mayatnya disembahyangkan, itupun setelah didesak oleh seorang adik perempuannya. Kemudian mayatnya telah dipindahkan ke Ankara dan dipertontonkan di hadapan Grand National Assembly Building. Pada 21 November, ia dipindahkan pula ke sebuah tempat sementara di Museum Etnografi di Ankara yang berdekatan  gedung parlemen.

Lima belas tahun kemudian yaitu pada tahun 1953, barulah mayatnya diletakkan di sebuah bukit di Ankara.